Sudut Lampu Merah

1/17/2015



Di lantai pos ketidakadilan, kuangkat kaki. Seperti berat hati polisi itu menyaksikan kepergianku. Setelah itu senyum tipisnya mengembang mengantongi angka dua belas digit dariku.






Kususuri jalan raya berkontur tanah semacam di bulan. Sengatan hawa panas dengan sabar mengucurkan peluh pada lekukan leher dan kening. Hampir tak yakin jika musim hujan bak kemarau ini akibat perilaku cuaca. Tidak. Kucurigai pabrik-pabrik renta yang menyerap kebanggan ibu-ibu paruh baya kelas bawah yang berhasil menjadi serdadu kaum bermata biru adalah pemeran utamanya. Atau deretan pohon tepi jalan yang telah diberi gelar almarhum oleh pemerintah kota.

Aku orang baru di tempat ini. Kedengarannya tak buruk jika banyak mengritik. Dalam beberapa hari akan kuisi untuk tinggal di negeri ini, sungguh kontras dengan negeri asalku.

Pemandangan berbau asusila dengan pelaku yang mungkin baru dua minggu melakukan masturbasi mengalahkan lajuku. Muak.

Mbak, awas!” teriakkan lelaki tua di pinggiran toko kelontong tak kuhiraukan.

“Terlalu mahal menemukan ketrentaman di tempat asing ini,” gumamku semakin menderu laju.
Pada arah angka sepuluh di jam tangan kulihat gelandangan kehilangan kedua tangan dan kakinya. Bahkan kehormatannya. Hanya saja terdapat kain putih lusuh kumal membungkus pinggang hingga kakinya yang tinggal separuh. Tepat di depannya sekelebat wanita muda berpenampilan wah sama sekali tak melirik, apalagi melemparkan satu sen untuknya. Lagi-lagi, aku tersesat di negeri para penghuni neraka.

Woy, kalau nyetir jangan merem!” kini teriakan itu berasal dari lelaki berrompi biru muda bertuliskan jukir.

Kulupakan peringatan itu seperti saat yang kulakukan di kelas fisika. Apapun yang keluar dari terowongan mulut pengajar kudengarkan, lalu kuabaikan.

Mendadak sebuah moge menyilang lajuku. Hampir saja motor matic-ku menampar motor mewahnya. Aku tahu, status kendaraan kami memang tak sepadan. Itu sebabnya kuurungkan niat untuk mencari gara-gara.

Lelaki tegap dengan garis wajah tampan berusaha menghardikku. Ingin segera kupersembahkan SIM pada sosok pengguna seragam polisi itu. Kurogoh kantong baju dan tak kutemukan makhluk yang diinginkan polisi pengganggu namun sedap dipandang dihadapanku. Baru kuingat, aku selalu absen untuk menunaikan niatanku ketika ingin membuat SIM, sekalipun acapkali dianggap sebagai jagoan jalanan. Kutarik helm retro dari kepalaku. Kujelaskan padanya jika untuk kali ini SIM mempersilakanku untuk bepergian sendiri.

“Ikutlah denganku. Jalan satu arah tak baik untuk diterobos seorang gadis, apalagi motormu kuanggap telah berjalan cukup kencang.”

Kuiyakan ajakan polisi yang nada bicaranya mengalami perubahan drastis. Dia lebih pantas berkata lembut daripada meninggikan nada bicaranya seperti detik pertama bertemu denganku.

Kami telah sampai pada bangunan sempit bercat putih yang disebut pos polisi. Tempat ini terasa lebih baik daripada harus mengorbankan kulit untuk disengat ganasnya matahari negeri antah berantah di jalanan.

Dengan sopan dipersilakannya diriku duduk. Aku lebih merasa sedang bertamu ke rumah pacar daripada ditangkap polisi akibat melawan arus jalan.

Pertanyaan terlontar dari mulut tipisnya dengan diawali oleh basa-basi yang sungguh basi. Seakan diajak berkenalan oleh polisi yang baru saja menilangku. Nama, alamat, sekolah, nama anjing, kebiasaanku sehabis makan, hingga status, kujawab seluruh pertanyaannya. Lantas, motif macam apa yang membuat seorang polisi bersikap semacam itu?

“Pak, ini pertama kalinya saya melintasi jalanan negeri ini, apa tidak sebaiknya anda memberi keringanan?”

“Bahkan kau bisa kebal hukum dalam masalah ini.”

“Benarkah bapak sebaik itu?” mataku terperangah.

“Baru kemarin ulang tahun ke dua puluh limaku dirayakan.”

Sejak saat itu tak kupanggil polisi itu “bapak”. Perbincangan kami semakin renyah. Cukup instan untuk menarik simpati polisi berkendaraan mewah di negeri yang entah siapa pemimpinnya ini. Sesekali dia meminta izin untuk mengatur jalan raya di dekat-dekat pos. Dia baru mengenaliku namun menghargaiku. Semestinya jika urusan penilangan ini memang sudah selesai, aku sudah bebas sebagai tawanan.

Kupikirkan berkali-kali perihal polisi tampan nan aneh. Bagiku dia sakit gila terselubung.

Pukul tiga sore. Matahari semakin ganas. Kusaksikan dari balik kaca orang-orang memilih bersembunyi di emper toko dan pohon tua gundul. Gelisahnya tak ada tanda polisi itu akan kembali. Kumainkan ponsel di sakuku untuk melenyapkan jenuh.

Terdengar perdebatan antar dua lelaki yang lupa mengenakan helm saat berkendara dengan polisi yang kurasa baru saja kukenal. Kupikir dua lelaki itu tak lupa, namun memang tak mempunyai helm. Kondisi motor dan pakaiannya seakan bercerita.

Perdebatan sengit tak bisa diurungkan. Kedua pihak sama-sama membenarkan pendapatnya. Polisi tampak sayang untuk mengeluarkan banyak kata dari mulutnya. Secarik kertas bukti pelanggaran diulurkannya tepat sejajar dengan salah satu hidung lelaki berpostur pendek.

“Simpan alasanmu di pengadilan!”

Polisi itu pergi tanpa permisi, bahkan tak melirik kedua lelaki yang sedang pucat pasi.

Dia mendekat ke arahku. Membuka percakapan dengan senyum berbunga-bunga. Aku pura-pura tak menyaksikan adegan antara penegak keadilan dengan rakyat jelata yang terjadi beberapa detik tadi.

“Jika kau merasa masih asing di negeri ini, aku bisa nomor ponselmu.”

“Dengan senang hati. Meskipun kedengarannya berlebihan.”

Di lantai pos ketidakadilan, kuangkat kaki. Seperti berat hati polisi itu menyaksikan kepergianku. Setelah itu senyum tipisnya mengembang mengantongi angka dua belas digit dariku.

Banyak yang tak kumengerti dari negeri baru ini. Tatanan kota, spesies manusia, hingga penegak keadilan sama sekali tak menunjukkan kesan baik.

Kutoleh angkasa. Biru langit dan awan begitu harmoni. Seakan tak menyadari negeri sesat yang bernaung di bawahnya. Kuhiraukan segala apa yang telah kusaksikan tadi siang seperti langit menghiraukan riuh negeri ini.

Saat itu, Madam Jenny berteriak riang. Mengagetkan lamunanku di halaman gersang depan kosan. Salon yang berhimpit dengan kosku seperti tengah meledak karena teriakan kemayunya.

“Mika, ada seorang polisi mengajakku makan malam.”

“Polisi? Hebat!”
Banci separuh baya itu memaksakan senyumnya agar tampak cantik. Menjijikkan namun menggelikan. “Tapi darimana dia tahu nomorku?”

“Jangan pusingkan hal itu. Pastikan dulu kau memenuhi ajakan makan malamnya. Aku yakin dia polisi yang tampan.”

Di ambang pintu salon rias pengantin, kuharap Madam Jenny akrab dengan kenalan barunya. Tampan, mapan, membuat orang segan, namun belum tentu mampu menegakkan keadilan.

You Might Also Like

2 komentar