Jia
3/05/2015Karunia Tuhan tentang ketidakmampuanku untuk mengingat semua peristiwa kehidupan masa lalu telah dicabut. Mengantarkanku pada ingatan kuno. Puluhan tahun lalu aku merasa pernah hidup. Mengejar sesuatu yang tak terkejar. Menyelesaikan sesuatu yang tak pernah selesai.
Roh Jia bersemayam pada perbatasan surga. Berpuluh tahun dia tinggal.
Di ambang surga, sama sekali gagang pintu impian itu tak diraihnya. Bukan
berarti jiwanya pendosa. Bukan pula di dadanya dipenuhi kebajikan.
Jia tak ingin beranjak.
Tubuh
Jia berbicara sebuah tugas yang dirasa tak pernah usai. Mata sipitnya memancar
kerinduan. Tak henti pandangannya terlempar ke bawah. Bumi.
“Jia Ling! Buddha mengutusmu mengarungi bahtera
kehidupan yang tertinggi. Bumi menerima
kehadiranmu. Temukan yang kau cari. Selesaikan yang kau mulai,” sosok menjulang
tinggi berjubah putih memancarkan cahaya mengagetkan roh Jia. Jia tersentak.
Ada energi yang meniupkannya hingga berlahan turun ke Bumi. Dunia dambaannya.
“Gadis ini bernama Shan. Shan, perkenalkan,
beliau Kakek Mario. Satu-satunya keluarga yang kupunya.”
Aku dan Kakek berjabat tangan. Tidak terlalu lama, namun tidak terlalu
cepat juga. Pandangan Kakek menancap pada bola mataku. Kusambut itu dengan
senyum. Kemudian ku lempar muka pada sosok lelaki muda berseragam sekolah. Lian,
kekasihku.
Lian membebaskan sebotol minuman soda dari kulkas. Tempat mungil yang
disebut ruang tamu itu bertiga kami kuasai.
“Kau
tidak ingin menceritakan pada Kakek tentang perkenalanmu dengan gadis Tionghoa
yang tengah tersipu malu di hadapanku ini?” Kakek masih menggoda. Lian sedikit
tersipu.
“Apa Kakek tak melihat wajah Shan yang tengah menjelaskan perasaannya
padaku?“
Aku tersenyum dengan kening mengernyit. Lian mengangkat salah satu
alisnya. Lelaki yang terkenal pendiam di sekolah itu tampak menggodaku.
“Hahaha..
Shan, kau jangan khawatir. Sekilas wajah Lian memang tampak seperti seorang playboy. Tapi percayalah, dia lelaki
yang setia. Seperti Mario muda dulu,” tawa Kakek dan Lian pecah.
Kuikuti
tawa kedua lelaki itu. Mendadak pandanganku kabur. Kepalaku serasa berputar.
Seolah sedang membentur benda keras, kuelus kening. Berharap rasa sakit itu
sirna. Kakek dan Lian menyadari hal ini. Beruntungnya, rasa sakit itu hanya
bertahan beberapa detik.
Aku dan Lian, sepasang remaja berseragam putih abu-abu yang sedang
terbius cinta. Banyak hal yang kami lalui bersama. Tak juga ada kebosanan untuk
mengulangnya setiap hari. Bercanda, berdebat, bertengkar, dan saling membagi damai.
Tak hentinya ingin kubaca takdirku di garis tangan Lian. Dia selalu menyimpan
pesan bahagia.
Menginjak tahun pertamaku sebagai kekasih Lian, dia kembali
mengundangku ke rumahnya. Untuk pertama kalinya, Kakek tak membaur.
“Kakek
sedang di taman. Aku selalu khawatir jika ia di sana. Dia selalu memikirkan
sesuatu yang tak pernah dibaginya untukku. Dan baru akan pulang petang nanti,”
Lian memandang jendela.
“Semua orang memiliki persoalan yang lebih baik
disimpan dalam-dalam. Dalam hati. Dalam dirinya sendiri. Kamu pun,” kataku.
Lian tersenyum tampan.
Dua pasang gelas soda terteguk habis. Meja kami dipenuh lembaran
kertas putih. Di permukaan salah satu kertas, Lian menorehkan garis-garis tipis
membentuk gambar wajah. Setengah wajah mulai terterka, kuyakin itu bukan Lian.
Wajah itu seperti seorang gadis yang kulihat tiap kali bercermin. Lian menciptanya
lebih indah.
Matanya
membidik lama padaku. Aku tersipu malu. Dia semakin bersemangat untuk menyudahi
langkah jari-jarinya.
Kumengenal Lian ialah pembuat sketsa terbaik yang pernah ada. Selama
ini aku sering memergokinya tengah menyelesaikan gambar wajah perempuan paruh
baya dengan rambut berombak. Diakuinya itu adalah wanita yang membuatnya ada.
Pensil mulai tumpul. Lian mecari-cari cutter di balik kertas-kertas berserakan. Tak ada. Dirabanya tas
sekolah. Tak ada. Ia menegakkan badan dan melangkah mengarah pada laci meja
kerja kakek.
“Shan,
lihat! Aku dan Kakek punya kegemaran yang sama. Lihatlah, banyak sekali
tumpukan sketsa di sini. Kakek benar-benar menyelesaikannya dengan baik,”
pencariannya berhenti pada tumpukan kertas pucat dalam laci. Warna itu
menjelaskan usianya yang lebih dari kepala lima.
“Indah sekali! Kamu mewarisi darah seni ini,” kataku.
“Ha? Gambar ini..”
Kurebut
sebuah sketsa dari tangan Lian. Kami tatap gambar itu tajam. Lian mengarahkan
pandangan padaku. Rasa sakit di kepala kembali menghampiriku. Kusembunyikan
rapat-rapat hingga Lian tak menyadarinya.
“Mungkinkah dia kekasih Kakek sewaktu muda?”
“Gambar ini benar-benar memahami garis wajahmu. Tak kutemukan
pembeda.” Lian mensejajarkan sketsa itu dengan wajahku. “Mengapa aku merasa dia
adalah dirimu?”
“Lian..
di pojok gambar ini tertulis 1964. Sepertinya kamu melewatkan ini,” aku
berusaha menenangkan.
“Kalian menemukan itu..” Kedatangan kakek mengagetkan kelancangan
kami. Kertas-kertas karya Mario muda masih berhamburan di lantai.
“Mm.. maaf, Kek. Kami tidak sengaja menemukan ini. Aku hanya heran
tentang gambar yang mirip dengan Shan. Ini..” Kami memunguti satu persatu
kertas tua itu. Lian menyisakan gambar misterius itu di tangannya.
Ketiganya
terdiam beberapa detik.
“Masa muda Kakek dipenuhi cinta untuknya. Jia Ling. Semenjak kau
mengenalkan Kakek dengan Shan, aku merasa Jia Ling lahir kembali. Mereka
memiliki paras yang sama. Sama sekali tak kutemukan pembeda ketika kupandang
raut muka Shan. Dan selalu kulihat roh Jia Ling dalam tubuh Shan.”
“Maksud Kakek?” Lian tersentak.
“Tidak..
Kakek tidak mencintai Shan. Hanya saja, selalu kuingat kasih Jia Ling pada diri
Shan. Maafkan kata-kata Kakek jika itu memang salah.”
Pengakuan Kakek membuatku ingin mendatangi taman itu. Tempat favorit
Kakek memuntahkan lamunanannya. Lian mencegah. Namun pada akhirnya ia dan Kakek
menemani langkahku.
Aku merasa dituntun oleh jiwaku untuk menuju ke sana. Seakan ada satu
cerita lama yang akan terkuak. Taman itu menawarkan.
Kami
duduk pada satu-satunya bangku taman yang tampak berumur.
Tiba-tiba nafasku tersengal. pandanganku memaksa kabur. Lagi-lagi.
Lian berusaha memeluk. Menenangkan rasa sakit yang hebat di ubun-ubun.
Diikatkannya pelukan itu erat pada tubuhku yang melemas.
Bola mataku mulai bersembunyi dibalik kelopak. Aku tak sadarkan diri.
Seperti
ada yang menerbangkanku membawa ke sebuah dimensi lain. Dimensi baru yang
menyita lelapku. Lian dan Kakek menghilang. Taman berhias bunga-bunga merah itu
menghilang. Sakitku turut menghilang.
Dimensi ini memperkenalkan ingatanku pada arti reinkarnasi. Kulihat,
serpihan jiwa lamaku terlahir kembali membentuk sosok Shan. Karunia Tuhan tentang ketidakmampuanku untuk mengingat
semua peristiwa kehidupan masa lalu telah dicabut. Mengantarkanku pada ingatan
kuno. Puluhan tahun lalu aku merasa pernah hidup. Mengejar sesuatu yang tak
terkejar. Menyelesaikan sesuatu yang tak pernah selesai.
Kurasakan sedikit guncangan pada tubuhku. Lian dan Kakek sepertinya
memaksaku keluar dari ketidaksadaran ini.
“Shan,
bangunlah!”
Aku tak ingin beranjak dengan tak memahami apapun. Kuabaikan mereka.
konsentrasiku membidik dimensi asing itu.
Dimensi itu menunjukkan dua sosok lelaki muda. Mereka sama-sama berdarah
Tionghoa-Jawa. Seorang pemuda menyambutku di sebuah rumah
mungil. Seorang lagi menunggu ditemani bunga-bunga layu pada sebuah taman.
Dengan
sendirinya mataku mulai terbuka pelan. Wajah Lian dan Kakek tak lagi samar.
Mata mereka memancar kelegaan. Kutahu, mereka sungguh menghawatirkanku.
Kutarik nafas dalam-dalam. Kupejamkan mata sejenak. Kucoba untuk
mengeluarkan kata-kata.
“A.. aku pernah menjadi Jia Ling. Dan menghembuskan nafas terakhir di
taman ini.”
Bersembunyi
dari sorot mata Lian, Kakek tersenyum tipis. Dia menemukan kisah kasihnya yang
sempat hanyut ditelan zaman.
Lian tak mau tahu. Dia mencoba memelukku. Baginya, akulah Shan. Dan
tetap sebagai Shan.
Kakek melangkah pergi. Langkah itu membawa sepotong hati dari masa
lalu. Dan diabadikan hingga masa kini.
Kakek
tak lagi merasa kehilangan Jia Ling. Shan menjadi malaikat penyampai tentang
kekasihnya yang telah lama pergi ke dunia lain melalui taman itu. Rasa terbesar
dalam hati kakek ialah selalu menganggap Jia Ling ada di sisinya. Sekalipun
melalui jiwa baru yang lain dan mencintai orang lain. Reinkarnasi justru
membuatnya menemukan jawaban.
0 komentar