Gobel di Negeri Melongo
3/05/2015Jangan pilih saya! Saya hanya mantan siswa goblok lulusan SD. Tak ada yang istimewa pada pribadi saya, selain tidak bisa mengemban amanah rakyat dan mudah jatuh cinta pada dolar. Pokonya jangan pilih nomor 13!
“Lo dapet brapa?”
“100.
Lumayan. Besok palingan dapet lagi.”
“Sebarin ke warga, besok si
Cokro bakal bikin konser dangdut di lapangan. Inul, coy!”
“Walah, tole pasti pingin ikut. Dia ngepens sejak umur lima taun.”
Politik
uang dan konser dangdut menjadi trending
topics rakyat Negeri Melongo. Musim pemilu tiba. Para caleg gencar unjuk
gigi. Bukannya mengisi ajang kampanye dengan membenahi infrastruktur atau
blusukkan pada aktivitas warga, justru menghiasi dengan acara yang tak mendidik
anak negeri. Keadaan semacam itu kian menjadi tradisi.
Mata warga hijau menyilau.
Mareka tak berdosa. Hanya saja didikan sang penguasa. Tak hanya kali ini. Namun
jauh puluhan tahun terdahulu. Mereka telah akrab dengan budaya busuk nan
mendarah daging ini. Bodoh dan polos tak lagi ada pembeda. Bayangkan saja jika
untuk sepuluh, dua puluh, atau lima puluh tahun ke depan pola pikir mereka
masih konstan?
Miris.
Pemilu tiga hari
lagi. Wajah-wajah caleg berlomba mengisi tepi jalanan negeri. Tak ada
pemandangan lain yang tersisa. Selain warna andalan partai berisi visi misi
yang tak dimengerti. Segala bentuk tulisan pada poster atau baliho tak
diminati. Warga Negeri Melongo memang bodoh. Ralat, maksudnya sangat bodoh.
Hingga begitu mudahnya dibodohi. Mereka hanya tertarik dengan foto dan gambar
partai. Itu saja. Caleg tampan dan cantik sering dipuji. Dan yang jelek selalu
dicaci. Kadang mereka suka lupa bercermin.
Pada
pertigaan jalan Dongo, kelurahan Sontoloyo, warga tengah berkerumun. Tak
berbeda dengan ayam-ayam yang mengerumuni dedak.
Lelaki berselempangkan sarung kumal memprovokasi. Telunjuknya membidik tajam.
Amarahnya membara. Kumis pudarnya semakin bergetar seperti tak tahan memiliki
tuan segarang itu. Orang-orang mengiyakan segala kata yang keluar dari mulut
baunya. Mata mereka seolah berbicara kekesalan.
“Caleg gila!” seru Lelaki
yang sering dipanggil Pak Ogah itu.
“Berani-beraninya
dia!”
“Gila dan
bodoh. Hahaha!”
“Mana mungkin dia bisa
terpilih kalau gini caranya. Gobeloooook.. Hahaha!”
Suara-suara
cibiran warga terdengar begitu lantang. Suasana semakin memanas.
“Apa kita
turunkan lalu bakar saja posternya, Pak?”
“Emm.. Jangan! Biarkan saja
poster ini terus terpasang. Kita ingat-ingat saja siapa nama dan nomor caleg
ini. Partainya jangan lupa. Akan ada waktu untuk membalas kekesalan kita
nanti,” salah satu mata Pak Ogah mengernyit sipit. Licik.
Seluruh warga
bermental makmum. Tanpa perlawanan mereka iyakan pendapat Pak Ogah. Sebuah
poster berukuran 3x2 meter berlahan ditinggalkan warga. Poster merah jambu kini
tak ada yang menemani. Apalagi menyoraki. Hanya lalu lalang kendaraan yang
melintas di jalan raya yang membagi polusi. Mengirimkan debu tipis di setiap
permukaan media kampanye bernomor tiga belas itu. Partai berlambang timbangan
menaungi caleg yang disebut-sebut gila oleh warga. Gobel Gobelun namanya.
Warga
tidaklah kesal pada warna. Bukan juga namanya. Tapi tulisan yang bahkan tak
pantas disebut visi misi. Begini isinya:
Jangan
pilih saya! Saya hanya mantan siswa goblok lulusan SD. Tak ada yang istimewa
pada pribadi saya, selain tidak bisa mengemban amanah rakyat dan mudah jatuh
cinta pada dolar. Pokonya jangan pilih nomor 13!
Kata-kata itulah
yang berhasil menyerap kegeraman warga. Mereka sepertinya benar-benar tengah
menyiapkan rencana untuk membalas kekesalannya pada poster yang memuat foto
lelaki gendut dengan rambut putihnya. Matanya sayu. Tak ada guratan senyum.
Semakin saya mendeskripsikan perihal poster tersebut, warga akan marah. Jadi
tak akan saya teruskan.
Pesta rakyat
dimulai. Bukan tanpa alasan, dengan meraup uang-uang haram pembagian para
caleg, mereka tak perlu membanting tulang untuk mendapatkan uang. Menyembelih
ayam, makan enak, membeli sandang di pasar, atau menggunakannya untuk menyawer
biduan dangdut tengah malam nanti. Bagi mereka, itulah pesta.
Tempat pemungutan
suara tersebar dimana-mana. Berhias fasilitas ala kadarnya. Jadwal pemilihan
dimulai jam tujuh pagi. Pukul sembilan pagi
warga mulai menyesaki. Tak ada kericuhan yang berarti.
Matahari
sejajar ubun-ubun. Bau keringat beralih menjadi pengharum ruangan TPS.
Partisipasi warga cukup baik. Sekedar membalas budi pesangon para caleg. Entah,
mereka mengetahui cara memilih yang benar atau tidak.
“Ayo, Pak Ogah! Kita balas
kekesalan tempo hari,” nada tinggi seorang warga menyedot perhatian seisi TPS.
“Bapak-bapak
ibu-ibu, mari kita kompak akan rencana kita kemarin. Caleg semacam Gobel itu
tak pantas dihargai! Masih ingat dengan nomornya?”
“Tiga
belas, Pak.”
Pak Ogah dan bala tentaranya
yang berkostum pakaian lusuh berjajar rapi menduduki barisan untuk menunggu
nama mereka dipanggil oleh panitia. Seketika giliran pak Ogah. Seluruh warga
seakan mengamati cara berjalan hingga gerak-gerik Pak Ogak ketika memilih. Tak
terkecuali para panitia. Hampir mata mereka kompak tak berkedip.
Paku pada bilik
satu diraih Pak Ogak. Senyumnya sinis. Matanya membidik kertas bergambar foto
caleg. Memorinya berputar mengingat poster Gobel. Dirabanya ujung paku.
Memastikan tajam tidaknya.
Matanya
berpetualang mencari wajah Gobel di atas lembaran kertas pemilih. Sorot matanya
membeku. Gambar Gobel ditemukan.
“Dasar caleg goblok! Dasar
caleg ngawur! Lo pikir bisa dengan mudah mengelabui kami, hah! Mampus, lo! Hahaha!”
Suara Pak Ogah
mendominasi. Kekesalan diekspresikannya dengan menusuk gambar wajah Gobel. Tusukannya
begitu kuat. Paku telah menembus mata Gobel yang tak lagi tampak. Bahkan paku
itu sempat menancap pada meja bilik suara tempat di mana pak Ogah membebaskan
hak suaranya.
Pak Ogah
lega. Puas. Tak ada kekesalan yang dianggapnya sebagai hutang.
Para warga melakukan apa yang
dilakukan Pak Ogah. Ditusuknya wajah Gobel dengan kekesalan yang memuncak. Usai
itu, mereka lega. Selega Pak Ogah.
“Mampus lo, Gobel! Gue tusuk muka lo sampai
penyok. Hahaha!”
“Cuma Gobel yang gue coblos. Yang lain enggak. Kasian. Mereka kan udah ngasih duit buat kita. Jadi gue gak tega mau ngrusak
gambar mereka.”
“Gobel memang pantes mukanya
ditusuk-tusuk. Dicoblos-coblos.”
“Tau rasa tuh orang!”
Tak
henti-hentinya pembicaraan bertemakan Gobel berlangsung. Pak Ogah yang lebih
dulu selesai telah meninggalkan tempat. Warga masih di lokasi. Mereka begitu
menikmati topik pembicaraan siang itu. saling bersahutan unjuk bicara. Tak lebih
berisik dari ayam-ayam yang saling bersahutan.
Pepatah lama berkata: Tong kosong nyaring bunyinya. Bukan lagi
hal yang sulit dimengerti. Cerminan masyarakat di Negeri Melongo patut menjadi
pembelajaran. Banyak bicara, banyak menggerutu. Pada akhirnya mudah ditipu.
Bukan hanya oleh pihak lain, namun oleh emosinya sendiri. Kekesalannya pada
caleg dalam poster merah jambu justru membawa negeri mereka ke ambang
kehancuran yang nyata.
1 komentar
Fasta,aku baca tumblr kamu. Tapi komennya malah disini :D follownya juga disini ahahahaha :*
ReplyDelete